Rudia sampaikan Beberapa Isu Krusial Dalam Proses Penanganan Pelanggaran Pemilu
|
Anggota Bawaslu Provinsi Bali I Ketut Rudia menyampaikan bahwa proses penindakan pelanggaran Pemilu/Pemilihan yang dilakukan Sentra Gakkumdu merupakan proses hukum cepat. Hal itu dapat dilihat dari keterbatasan waktu yang dimiliki oleh Bawaslu saat melakukan penindakan pelanggaran Pemilu/Penilihan.
Saat Pemilu, Bawaslu hanya memiliki waktu 14 hari, dan saat Pemilihan hanya memiliki waktu lima hari saja,†kata Rudia dalam Rapat Pembinaan Pelaksanaan Penanganan dan Penindakan Pelanggaran Pemilu/Pemilihan yang diselenggarakan oleh Bawaslu Kabupaten Bangli di Kantor Bawaslu setempat, Senin (15/11/2021).
Kordiv Hukum, Humas, dan Datin itu mengatakan dengan keterbatasan waktu yang dimiliki tersebut, Sentra Gakkumdu yang merupakan forum komunikasi tiga institusi, (Bawaslu, polisi, dan jaksa), harus membangun komunikasi yang baik untuk memperoleh kepastian hukum.
Dijelaskan Rudia ada beberapa isu krusial yang kerap terjadi dalam proses penindakan pelanggaran Peemilu/Pemilihan diantaranya, adanya perbedaan pemahaman yang sangat sering terjadi dalam Sentra Gakkumdu antara Kepolisian dan Kejaksaan yang tidak sepakat dengan Bawaslu menjadikan penanganan dugaan tindak pidana pemilu menjadi tidak efektif atau berhenti.
Selain itu forum rapat pleno di Gakkumdu yang sering kali diisi bukan untuk menyamakan pandangan antar institusi melainkan memberikan penilaian semata apakah kajian yang dibuat oleh Bawaslu berserta bukti-bukti dugaan tindak pidana telah terpenuhi atau tidak.
Menurut Rudia, Konsep Sentra Gakkumdu sebagai pusat aktivitas penegakan hukum tindak pidana Pemilu yang melibatkan Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana Pemilu di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 38 UU No. 7 Tahun 2017, ternyata berbeda penjabarannya dalam pasal-pasal terkait
Dijelaskanya, dalam Pasal 476 ayat (2) misalnya, Sentra Gakkumdu atau Gakkumdu dikatakan ‘hanya’ sebagai forum koordinasi bagi Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, dan/atau Panwaslu Kecamatan dengan pihak Kepolisian dan Kejaksaan dalam rangka menyatakan perbuatan atau tindakan yang diduga merupakan tindak pidana Pemilu.
Dalam Pasal 486 ayat (1) dan ayat (2) dibentuk untuk menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak pidana Pemilu yang sifatnya melekat pada Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota. Jadi, walaupun dibentuk oleh 3 (tiga) lembaga, Sentra Gakkumdu berada dalam atau melekat pada Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota, sehingga secara struktural berada dibawah kendali Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota.
Mengingat UU No. 7 Tahun 2017 sudah cukup jelas mengatur keberadaan Sentra Gakkumdu di satu sisi dan institusi mana yang berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana dalam Pemilu 2019 di sisi lain, maka Peraturan Bawaslu No. 31 Tahun 2018 tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu yang ditetapkan untuk melaksanakan perintah Pasal 486 ayat (11) UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu berbunyi, Ketentuan lebih lanjut mengenai Gakkumdu diatur dengan Peraturan Bawaslu seharusnyalah tidak justru semakin mengaburkan eksistensi Sentra Gakkumdu, dari hanya sebatas forum koordinasi menjadi forum pengambilan keputusan lintas lembaga atau
“Seharusnya dalam suatu dugaan tindak pidana yang masih kabur harus dilakukan upaya penyidikan untuk membuat peristiwa tersebut menjadi terang, apakah merupakan sebuah tindak pidana atau perisitiwa pelanggaran biasa. Jika dugaan tindak pidana tersebut tidak ditindaklanjuti dan selalu dimentahkan, maka yang terjadi adalah kebenaran materil tidak akan pernah didapatkan,â€Ungkap mantan ketua Bawaslu Provinsi Bali priode 2013-2018 itu.
Dilanjutkan Rudia, dari fakta yang ada menunjukkan bahwa pada tahun 2019 penanganan pelanggaran pidana pemilu baik laporan dan temuan temuan sebanyak 2724 perkara, dengan total perkara yang berhenti di pembahasan kedua Sentra Gakkumdu mencapai 62%. Terhentinya perkara di pembahasan kedua Sentra Gakkumdu dikarenakan belum adanya kesepahaman persepsi antara Bawaslu, kepolisian, dan kejaksaan secara bersamaan dalam menangani perkara pidana pemilu.
Jika berkaca dari pengalaman Bawaslu dan jajarannya dalam menangani tindak pidana dalam Pemilu 2019 berdasarkan tugas pengawasan dengan kewenangan yang sangat terbatas sebagaimana telah diatur dalam UU No. 7 Tahun 2017, dapat disimpulkan bahwa penanganan tindak pidana Pemilu tidak akan berjalan efektif bila lembaga yang diberi tugas untuk melakukannya tidak di beri cukup kewenangan untuk menegakkan hukum secara mandiri tanpa harus berkoordinasi dengan institusi lain.
Menurut Pejabat asal Baturingit Karangasem itu, sudah saatnya Indonesia memiliki lembaga pengawas Pemilu atau lembaga penegak hukum Pemilu yang diberi wewenang penuh dalam menangani tindak pidana Pemilu dengan melakukan seluruh proses penegakan hukum mulai dari penyelidikan dan penyidikan sampai penuntutan ke sidang pengadilan. “Tentu saja dibutuhkan sumber daya manusia yang mampu menjalankan tugas-tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan,â€paparnya dalam rapat yang juga dihadiri oleh Polres Bangli dan Kejaksaan Negeri Bangli tersebut.